
Tes Kemampuan Akademik (TKA) tahun 2025 diperkenalkan sebagai evaluasi standar pengganti Ujian Nasional, berfokus pada pengukuran penguasaan materi inti seperti Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris, ditambah dua mata pelajaran spesialisasi pilihan siswa. Di mata siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), TKA menjadi bahasan krusial karena statusnya yang opsional namun penuh implikasi strategis. Berbeda dengan esensi SMK yang menitikberatkan pada keterampilan praktis dan kesiapan kerja, TKA justru mengukur kemampuan kognitif tingkat tinggi (HOTS). Hasil berupa Sertifikat Hasil TKA (SHTKA) tidak menentukan kelulusan, namun menjadi nilai tambah esensial untuk memandu jenjang karier lulusan SMK, baik di dunia industri maupun saat menempuh pendidikan lanjutan.
Manfaat utama TKA terletak pada penyediaan standar pengukuran akademik yang objektif dan diakui secara luas. SHTKA berfungsi layaknya “kunci cadangan” bagi lulusan SMK yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Dengan torehan nilai TKA yang impresif, mereka berkesempatan bersaing secara adil dengan lulusan SMA untuk memperebutkan kursi di berbagai jurusan perguruan tinggi negeri maupun swasta. Selain itu, tes yang mengasah kemampuan berpikir kritis ini sejalan dengan tuntutan era Industri 4.0, menjadikan SHTKA sebagai lampiran portofolio yang berharga, menegaskan bahwa lulusan SMK tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki landasan akademik yang solid.
Meskipun demikian, implementasi TKA tidak luput dari tantangan serius. Isu beban ganda menjadi kekhawatiran terbesar; jadwal siswa SMK sudah dipenuhi mata pelajaran produktif, Praktik Kerja Lapangan (PKL), dan Ujian Kompetensi Keahlian (UKK). Persiapan ekstra untuk TKA dikhawatirkan akan menggerus fokus mereka dalam menguasai keterampilan inti vokasi. Terdapat pula keraguan tentang keterkaitan langsung materi TKA dengan kebutuhan spesifik jurusan keahlian tertentu. Kesenjangan sumber daya dan fasilitas bimbingan antara SMK di perkotaan dan daerah terpencil juga berpotensi menciptakan ketimpangan hasil yang nyata.
Di lapangan, pandangan siswa SMK terhadap TKA terpecah antara optimisme dan keraguan. Sebagian besar melihatnya sebagai peluang emas untuk membuka jalan ke jenjang perguruan tinggi, sementara yang lain merasa tertekan dan memilih untuk memprioritaskan UKK serta persiapan kerja langsung. Pihak sekolah pun menghadapi dilema serupa: menginvestasikan sumber daya untuk pelatihan TKA atau tetap fokus memperkuat kurikulum vokasi yang sudah ada. Pada akhirnya, keputusan untuk mengikuti TKA sering kali didasarkan pada aspirasi karier pribadi siswa, bukan sekadar kebijakan institusi.
Nilai TKA memiliki peran yang beragam di mata para pemangku kepentingan. Institusi perguruan tinggi cenderung menyambut baik data akademik terstandar yang disediakan TKA, memfasilitasi proses seleksi mahasiswa baru dari latar belakang vokasi. Sebaliknya, Dunia Usaha dan Industri (DUDI) mungkin belum sepenuhnya mengintegrasikan TKA sebagai kriteria utama dalam rekrutmen. DUDI tetap memprioritaskan keterampilan teknis (hard skill), pengalaman PKL, dan kemampuan interpersonal (soft skill). Kendati demikian, nilai TKA dapat berfungsi sebagai indikator tambahan yang menujukkan literasi dan numerasi dasar yang baik, melengkapi kompetensi teknis yang dikuasai lulusan SMK.
Sebagai simpulan, TKA 2025 merupakan instrumen penilaian yang menjanjikan peluang signifikan sekaligus menuntut adaptasi dari ekosistem SMK. TKA berfungsi sebagai penghubung potensial menuju pendidikan tinggi dan pelengkap dokumen lamaran kerja, bukan penentu tunggal masa depan. Langkah paling bijak bagi siswa SMK adalah mempertimbangkan secara saksama rencana jangka panjang mereka: jika tujuan utama adalah melanjutkan studi, mengejar TKA adalah pilihan yang tepat. Artikel ini menganjurkan pendekatan yang arif, memandang TKA sebagai fasilitas opsional yang, bila dimanfaatkan secara optimal, mampu meningkatkan daya saing lulusan vokasi di pasar kerja dan pendidikan tinggi.
(zen)


