Pahitnya Kopi Itu Jati Diri

“Meskipun ditambahkan susu, gula atau creamer, kopi selalu memiliki sisi pahit. Itu adalah jati dirinya.” Kepahitan kopi tak bisa dihilangkan begitu saja dan memang tak perlu dihilangkan sehingga batas kangen dan rindu  dibilangnya beda tipis.

Ilustrasi kopi dan laptop menginspirasi ( https://sumeks.disway.id/read/654055/ )

Seperti pagiku hari ini, sekitar 03.00 sudah terbangun seperti biasa, terbisa. Bahkan jika tak terbangun menjadi hal luar biasa. Aktivitas dari A sampai X ( kalau tak boleh dibilang Z karena belum kelar) mulai terjamah. Sedikit demi sedikit terlampaui meski tak sepenuhnya bernilai. Ya, memang tak perlu dinilai ! bukan kompetensinya untuk menilai, tak perlu dicatat, tak perlu ditulis ( apa bedanya dicatat dan ditulis ? hmmm…) ataupun di apresiasi. Seakan tak percaya akan tugas Roqib dan Atid.

Jadi teringat tatkala mengikuti berita di televisi, banyak informasi simpang siur bagai dawet di panci yang sedang diaduk. Terpesona  dan  tidak puas, bangga dan sakit hati, bahkan pening dan gelak tawa nge-blend yang tak semua insan bisa mengecap atau sekedar membau. Hanya sebuah kata ‘bising’ atau ‘busung’ kerap kali mengusik ketenangan. Tak apalah… tinggal dari sudut mana kita berinteraksi.

Siapa saja boleh berbicara, boleh menulis, boleh berbohong, boleh memotivasi. Tak terkecuali hati pribadi. Saat nurani berontak ingin berubah, raga masih selalu ogah. Ketika pikiran ini berujar ikhlas, ada yang tiupkan angin sepoi itu tak pantas. Inilah uniknya yang super unik dari kedewasaan yang terganggu. Bukan tentang umur atau indikator lain tapi tentang menghargai dalam satu sistem dawet di dalam panci yang berisi heterogenitas pemikiran dan ego. Lalu, kita harus bagaimana?

Di asap seduhan kopiku kali ini terlintas komunikasi horisontal dan vertikal. Waaw, apaan tuh…? Jati diri itu anugerah yang akan semakin terlihat jelas jika mampu memanfaatkan komunikasi vertikal. Tak perlu ditepis atau dikekang asal tak lepas dan liar karena apapun alasannya komunikasi horisontal yang baik sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan sistem peredaran planet dan “dulur-dulur”-nya agar tetap balance.

Ha ha ha, untung bungsuku tak tahu. Andai dia baca tulisan ini, komentarnya bisa ditebak, “ ayah iki nulis opoooo…? Wajar kan yah, seseorang mempunyai karakteristik, watak ( bukan watuk ), hal khusus, jati diri yang penting bisa jaga hati dan kuat pegangan tali kendali”

Penulis : Zainal Fanani

Editor : Siti Fatimah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *