Lembayung

Karya Siti Nur Avidah

Kelas XI APHP 2

Penulis

Suara gemuruh teriakan, soraan dukungan, suara tulang dihantam, badan yang dijatuhkan menggema di seluruh ruangan tinju. Pikiranku tertuju pada lawan yang sudah sedikit doyong akibat pukulan. Otot yang semakin menegang, selalu berharap agar tidak ada yang serius.

Tinju, seni bela diri ini yang sudah kutekuni sejak menduduki bangku SMP. Kutelateni dan bisa membawa aku ke pertandingan nasional. Dan pertandingan saat ini membawa banyak nama baik.

Satu pukulan terakhir, berada telak di hidung yang menimbulkan bunyi tulang patah. Agak ngeri, tapi semua di luar ekspektasi. Lawan tersungkur dan ia dinyatakan Knock-out atau KO.

Tanganku diangkat dan seketika itu bunyi suara dan tepukan tangan tidak dapat dicegah. Bahkan sampai tidak ada yang tahu mereka semua menyorakkan apa.

Aku jalan menuruni tangga dengan perasaannya sudah lama tak kurasakan setelah setahun vakum, ini terasa lagi.

Tepat setahun lalu, aku mengalami cedera yang cukup serius yang membuat tulang tanganku retak. Aku harus menjalani rehabilitasi selama 7 bulan sebelum akhirnya dapat bergerak dengan normal kembali. Membutuhkan waktu yang cukup lama untukku agar dapat menyesuaikan kembali untuk bertanding.

Di samping bawah ring, aku dan Ares berpelukan, merasa senang sekali dapat merasakan kembali perasaan yang sudah hilang beberapa saat, perasaan yang sangat dirindukan.

“Akhirnya.” Kataku melepas pelukannya. “Akhirnya.” Ia tersenyum yang memperlihatkan cekung kecil di pipinya.

Ares, dia yang selalu menemani prosesku hingga saat ini. Manusia berhati malaikat.

Kami berjalan menghampiri teman kami, Ryan dan Ray di kursi penonton. “HITS!” Mereka berdiri bertepuk tangan mengundang perhatian seluruh dirinya ada di sana.

“sssttttt!” sebenarnya aku pun terkejut dengan teriakannya begitu juga dengan Ares.

Masih 3 jam lagi hingga babak terakhir dimulai, dan aku mulai lapar.

“Beli minum yok.” Ajaknya, “Yok” Ares memang bisa diandalkan. Kami berjalan meninggalkan saudara kembar yang sudah larut dalam pertandingan kontestan selanjutnya.

Baru sajak aku keluar dari sebuah Alfamart. Sebuah suara asing meneriakkan namaku “Aiden” sontak aku dan Ares menoleh mencari sumber suara.

Terlihat sesosok perempuan sepantaranku berlari mendekat. “Hai!” sapanya terengah-engah. Aku mengernyitkan dahi. “Uhmmm” Jawabku canggung.

“Siapa nih?” Tanya Ares. Aku hanya menggeleng wanita itu juga mengernyitkan dahinya, heran.

“Yak?” anak itu bertanya heran “mmm, maaf” Aku menoleh melihat Ares, mempertanyakan wanita di depanku ini.

“Kamu lupa sama aku?” tanyanya protes. “Basi yak, bercanda kayak gitu.” lanjutnya tidak yakin.

Aku hanya diam mencoba mengingat kembali wajahnya, “Maaf, aku beneran gak tau kamu siapa.” Setengah dari diriku merasa bersalah setelah mengucapkannya.

Ia cemberut, menampakan ekspresi kesal. “Aku Jihan, teman kecilmu.” Tatapannya yang meyakinkan membuatku familiar. Sekarang aku merasa ada secercah harapan untuk mengingat siapa sosok itu.

Hampir sajak aku ingat, Ares mengajakku pergi dari hadapannya. “Siapa sih?” katanya menggumam. Aku mengikuti Ares, tapi ekor mataku menangkap ekspresi Jihan yang tersulut.

Aku berjalan mencoba mengingat siapa anak barusan tadi. Kalau ingatanku tak salah, aku pernah melihatnya di suatu tempat. Rasanya familiar, seperti di….. Taman? ingatanku mulai tercampur dengan imajinasi dan ingatan tentang film-film alay yang biasa aku tonton.

“Kamu ingat dia?” Tanya Ares membuyarkan lamunanku. “mmm, wajahnya familiar sih. Tapi aku gak yakin.” Tiba-tiba rasa pusing itu datang.

“Kata dia tadi teman kecilmu?” “Aku lupa.” Entahlah rasanya sangat tidak asing, tapi aku sangat susah untuk mengingatnya.

Tinggal dua jam lagi hingga babak terakhir dimulai. Tapi, aku mulai tidak bersemangat. Aku malah mengajak Ares menuju rooftop, tempat yang aku sukai.

Disini benar-benar sepi, suasana senja. Hiruk piuk yang terdengar jelas membuat perasaanku terasa lebih tenang. Aku duduk tepat di belakang pagar, kakiku menggantung ke bawah.

“Ayo latihan.” Ajaknya

“Males yak.” Jawabku lesu. “Tumben, biasanya semangat banget apalagi bisa bertahan sampai akhir.” Tanyanya seraya duduk di sebelahku.

“Dulu, sebelum orang tuaku pisah, aku selalu ingin membahagiakan mereka berdua. Tapi setelah kejadian cedera kemarin, aku menyadari sesuatu.” Aku tertunduk.

Ares melihat tatapanku yang sayu, mengingat kejadian pada saat di rumah sakit, di mana ayahku membentak ibuku dengan mengatakan bahwa aku hanyalah beban baginya.

“Aku gak pernah berharap kalau ayah bakal bilang gitu sama sekali. Meskipun memang ku akui aku benci dia, tapi mendengarnya dari mulut ayah kandung sendiri membuatku merasa kalau aku benar-benar tidak diinginkan. Setelah mendengar kalimat itu siapapun juga akan merasakan hal yang sama kan?” Mataku berkaca.

Ares terdiam sesaat, “Aiden, kalaupun kau sudah kehilangan salah satu alasan untuk membanggakan kedua orang tuamu. Setidaknya buat aku bangga, untuk memiliki sahabat sepertimu.” Ares tersenyum menguatkan.

Aku membalas senyumnya, kemudian aku mengalihkan pandanganku sebelum berdiri.

“Ayo kita berjuang.” Mataku berbinar. Sungguh aku merasa beruntung mempunyai teman seperti dirinya.

Satu kata yang tak pernah bisa terucap adalah ketika sahabat yang paling kau sayangi sedang berada di tengah keraguannya, namun dengan semangat yang kau berikan ia menjadi bangkit dan terlihat tak terkalahkan. Seribu kata pun tak cukup rasanya.

#####

Seperti yang kuduga, meskipun satu jam lagi acara dimulai, tetapi GOR sudah mulai ramai dengan para orang-orang yang datang menyaksikan babak final.

Aku sedang diberikan pengarang oleh coach, dan diberikan kesiapan yang matang, karena ini tidak sembarangan. Tiba-tiba Ares menarik tanganku, “Lihat deh.” Aku memicingkan mata menajamkan penglihatanku.

Ayah! aku spontan berteriak hampir tak percaya. Ayahku ada diantara penonton-penonton mencari seseorang yang mungkin adalah aku. Aku melihat wajahnya yang begitu berseri.

Pertandingan akan segera dimulai. Tetapi aku pun tak tahu kenapa rasanya saat ini berbeda sekali keringat dingin bercucuran dan badan ku mulai bergetar. Tetapi, semangatku kali ini sangat tinggi. Apa karena ada sesosok orang yang sangat aku inginkan untuk datang dan ia mengabulkannya?

Sang wasit sudah berdiri di atas ring, ia memberi pengumuman pada penonton dan memberikan arahan kepada aku dan lawanku. Ares meyakinkan aku, kalau semuanya akan baik-baik saja dan semuanya akan sempurna.

Gadis ring sudah masuk ke tengah-tengah dan mulai memutari ring dengan membawa nomor satu. Yang artinya pertandingan pertama akan segera dimulai.

Aku dan lawanku sudah siap. Dan saat wasit mengatakan “BOX” pertandingan pertama dimulai. Sontak suara penonton pun memenuhi ruangan.

Satu pukulan, dua pukulan. Aku memukul secara bertubi-tubit dan itu kena telak semuanya. Lawanku mulai kehilangan keseimbangannya dengan begitu aku dapat dengan mudah untuk membuat ia semakin lemah. Perlawanan yang sangat kuat kadang membuat aku sedikit kewalahan.

Ronde pertama selesai dengan sempurna dan ronde kedua dimulai. Lagi dan lagi semuanya sempurna. Sebelum ronde ketiga dimulai, ada BREAK terlebih dahulu dua menit. “Ayo, ini terakhir. Kamu bisa, kamu hebat.” Coach ku memberi semangat. “Ayo, buat aku bangga menjadi sahabatmu. Tidak ada hasil yang indah tanpa proses yang mudah.” Ares berteriak. Sekali lagi, karena Ares aku tahu apa arti berjuang yang sesungguhnya.

Gadis ring mulai berputar kembali, menandakan ronde 3 dimulai, “BOX” Pertandingan ketiga dimulai. Dengan semangat yang tersisa. Aku menyerang, darah mengalir dari pelipisku. Rasa pusing menyerang, tapi semangatku tak berkurang.

Bugh, Bugh, Bugh. Tinju itu, pukulan itu, pukulan terakhir itu yang membuat lawan Knock-out atau KO. Lawan terpental ke pembatas ring dan jatuh.

And finally, semua orang langsung bertepuk tangan dan suara akan menyebutkan namaku pun langsung menggema di seluruh ruangan. “AIDEN, AIDEN, AIDEN!” Kira-kira begitulah teriakan orang-orang.

Aku dikalungi medali dan kalung bunga. Aku membungkukkan badan menatap orang-orang. Ayahku menghampiriku dan memelukku. Air mataku tak dapat terbendung lagi. Ares pun melakukan hal yang sama.

“Ayah bangga padamu, nak.” Ayahku mengatakan itu, kalimat yang ingin sekali ku dengar dari dulu akhirnya sekarang keluar dari mulut ayahku. Hanya kalimat pendek, tapi dampaknya luar biasa.

Mungkin tak 100% sempurna hasilku, tapi dengan tekadku dan semangatku, semuanya berjalan dengan sangat luar biasa. Bakat yang selalu aku prioritaskan sejak SMP dan banyak prestasi yang sudah aku dapatkan. Membuatku bisa mencapai titik ini. Banyak alasan untuk menyerah, tapi tetap carilah satu alasan untuk tetap bertahan. Aku ingin menunjukkan tidak ada yang tidak mungkin. Siapa lagi yang kita punya selain diri kita sendiri. Siapa lagi yang peduli jika bukan diri sendiri.

Setiap rasa sakit yang aku dapatkan, itu akan memberikan pelajaran. Rasa sakit akan terbayarkan oleh apa yang bisa membuat kita sembuh. Jika kamu merasa sakit, rasakan sakitnya sampai kamu benar-benar sakit lalu kamu akan sembuh.

Hembusan nafasku masih memburu akibat pertandingan yang cukup menguras tenaga. Entah kenapa air mataku rasanya tak mau berhenti. Aku mendongak, mengucap rasa syukur tiada habisnya. Dan semua itu berakhir, setelah matahari terbenam.

(admin/zen)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *