Mempertajam Makna Berkurban Untuk Para Pelajar

Sejarah manusia sesungguhnya dimulai dari pertarungan hidup menaklukkan segala hasrat dan kepentingan diri dan angkara dunia di tengah komunikasi dan interaksi orang lain dan lingkungannya. Qabil putra Adam tega membunuh saudaranya Habil demi kepentingan diriya. Fir’aun sewenang-wenang memperlakukan orang lain,  bahkan karena kecongkakannya Raja Ramses itu menyatakan diri sebagai “tuhan yang maha tinggi”. Qarun yang konglomerat selain pelit juga rakus menghisap orang lemah dan menguasai kekayaan publik secara semena-mena.

Sejarah Qurban secara khusus dikaitkan dengan kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Berkurban meningkatkan semangat dalam mencetak generasi unggul yang tidak hanya cerdas secara sosial, cerdas emosional, tetapi juga cerdas spiritual. Keteladanan dalam membimbing anak harus dikedepankan. Kejayaan satu bangsa salah satunya adalah keberhasilan para pendidik dan orang tua dalam melahirkan para pemimpin bangsa yang jujur, adil, dan bijak. Buah dari pribadi pendidik dan orang tua yang menjadi tuntunan bukan tontonan. Keteladanan Nabi Ibrahim hendaknya menjadi acuan dalam memposisikan anak sebagai mitra bukan sebagai ‘objek’.

Al Qur’an mengabadikan peristiwa agung ketika Nabi Ibrahim meminta pendapat Ismail as., pada saat Allah memerintahkan untuk mengorbankan putranya tersebut, Wahai anakku, aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelih engkau. Bagaimana menurut pendapatmu? Sebagai anak yang dididik dengan keteladanan orang tua, sang putra menjawabnya dengan penuh ketulusan dan keikhlasan: Wahai ayahku, lakukan saja apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan mendapati aku, insya Allah termasuk orang-orang yang sabar. [QS. Ash-Shaffat (37):102].

Ibadah qurban yang dilakukan dengan cara menyembelih hewan kurban pada hakikatnya adalah bentuk ekspresi keimanan dan ketakwaan atas perintah Allah SWT. Pengamalan kurban ini bersifat ta’abbudi dan harus sesuai dengan petunjuk Allah dan rasul-Nya. Memang secara fisik yang disembelih adalah hewan kurbannya, tetapi hakikat yang sampai pada-Nya adalah bentuk ketakwaan. 

Hal tersebut membuktikan bahwa sifat hewani yang tidak mengenal keteladanan harus disembelih dalam kehidupan ini. Keteladan dari para pendidik dan orang tua dengan saling menghargai kepada sesama, mengasihi kepada kepada yang lemah, akan berbuah kemuliaan pada diri seorang anak/siswa.

Jadi, jika ‘Ismail’-nya Nabi Ibrahim as adalah anak kandungnya sendiri, ‘Ismail-ismail’ pelajar saat ini bisa berwujud permainan / game, euforia, harta benda orangtua, kesombongan karena IQ yang tinggi,  harga diri, maupun ego, waktu menggunakan gadget yang tidak bijak termasuk di dalamnya mental tidak mau sengsara tapi maunya enak yang instan serta serakah yang menguasai manusia! Apa yang menjadi kiasan sebagai ‘Ismail’ sesungguhnya adalah tiap sesuatu yang membuat manusia hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, dan tiap sesuatu yang dapat membutakan mata hati dan menulikan telinga manusia dari hidayah Allah SWT.

Kiranya apa dan siapa pun ‘Ismail-Ismail’ itu maka harus diqurbankan di bumi yang fana ini, sebagai bukti keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Inilah sejatinya makna terpenting ‘Idul Qurban, yakni tumbuhnya sikap kesediaan berqurban dalam kontek sosial yang lebih luas. Yakni kapan dan di mana pun kita berada rela memberikan pengorbanan yang tulus demi kemaslahatan.

*) Sumber gambar : https://kalam.sindonews.com/read/1128203/69/hewan-yang-sah-untuk-kurban-idul-adha-ini-ketentuannya-1686859615

(admin/zen)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *