Refleksi HUT RI : Merdeka dan Memerdekakan dalam Pembelajaran

Aku sudah lupa tahun berapa waktu itu, yang aku ingat kelas 4 SD. Pak Guru membawa 2 ember ke dalam kelas. Sebenarnya ember itu tidak ada yang istimewa karena menjadi pemandangan sehari-hari ember selalu berada di depan pintu kelas berisi air yang disediakan untuk cuci tangan karena sekolah kami saat itu menggunakan kapur tulis dan penghapus papan dari kapas yang dibungkus kain sehingga tangan berdebu yang harus dicuci setiap saat. Tapi rasanya aneh hari itu, ember yang terbuat dari seng ( bukan plastik ) itu dibawa masuk ke kelas dan alat pemukul dari kayu kira-kira panjang 30 cm. Ember pertama dibiarkan kosong dan ember kedua diisi air.

Di tengah-tengah kami belajar, Pak Guru meminta  2 siswa maju ke depan kelas. Semua siswa hukumnya wajib memperhatikan perintah Pak guru. Siswa ke-1 disuruh memukul  ember pertama dengan kayu, siswa ke-2 disuruh memukul ember ke-2 dengan kayu yang sama. Anehnya siswa tidak dibatasi cara memukul timba itu. Boleh dari arah mana saja, boleh dengan berirama atau tidak, boleh dengan cepat atau tidak cepat, dan seterusnya.

Kami masih belum paham apa maksud Pak Guru melakukan kegiatan tersebut. Kebetulan di kelas ada 4 deret tempat duduk siswa, setiap deret 2 orang siswa yang diminta maju ambil bagian dalam pembelajaran ini. Pembelajaran ini menjadi menarik karena siswa ingin melakukan ke depan kelas. Dengan bijak Pak Guru menyampaikan perihal  disiplin tidak boleh berebut. Praktis 8 siswa sudah melakukannya dan ke delapan siswa ini menunggu di depan kelas dan sekali – sekali mengacungkan jempol pada siswa yang telah selesai melakukan tugasnya.

Tiba saatnya Pak Guru mengajak kami berpikir dari apa yang dilakukan dan diamati siswa. Ternyata kami dibawa pada sebuah hasil sementara yang berupa bunyi yang timbul dari pemukulan kedua ember. Pukulan di ember yang kosong bunyinya keras, pukulan di ember yang berisi air bunyi tidak keras. Kami masih tidak paham apa maksudnya. Beberapa saat kemudian baru tersadar ketika Pak Guru bercerita bahwa seseorang yang banyak omong, seseorang yang suka berbicara tanpa aturan, orang tersebut seperti ember kosong yang dipukul, nyaring bunyinya, keras suaranya karena tidak ada isi. Sedangkan ember kedua yang berisi air saat dipukul menghasilkan bunyi juga tapi tidak terlalu keras. Substansi dari pembelajaran saat itu adalah peribahasa, TONG KOSONG NYARING BUNYINYA.

Waaw…., pelajaran Bahasa Indonesia disampaikan dengan metode empiris walau sangat sederhana.

Pak Guru melakukan pembelajaran secara merdeka walau kala itu belum ada kurikulum merdeka. Pelajaran Bahasa Indonesia disampaikan dengan cara melakukan percobaan sederhana, Pak Guru memanfaatkan benda di sekitarnya, Pak Guru tak berdalih dan berpikir apa kata orang, Pak Guru memberi kesempatan siswa terlibat dalam pembelajaran, Pak Guru memberikan apresiasi hasil kerja siswa, Pak Guru melakukan pengajaran dari hati untuk menumbuhkan karakter, dan seterusnya.

Apa yang dilakukan Pak guru tersebut membuat siswa merasa bahwa tak ada lagi sekat yang sangat tebal antara guru dan siswa. Humanis, merasa dirangkul hatinya, merasa dihargai, merasa diajak dalam menemukan solusi, merasa menjadi bagian yang bertanggungjawab dalam suatu kegiatan.

Saat ini kita yang sehari-hari berprofesi sebagai guru, sangat perlu bertanya pada diri sendiri. Apakah kita telah melakukan pembelajaran yang seperti itu? Memang tidak harus seperti itu, masih banyak cara, metode, strategi untuk mencapai tujuan. Banyak jalan menuju Roma. Guru MERDEKA melakukan pembelajaran dengan memperhitungkan karakteristik, kemampuan dan gaya belajar siswa, dengan MEMERDEKAKAN siswa melakukan proses meraih Capaian Pembelajaran dengan cara sesuai kondisi dan tentu saja atas bimbingan guru sebagai fasilitator.

Merdeka !!!

SMK Bisa !!!

SMK Hebat !!!

SMK Bisa Hebat !!!

Penulis            : Zainal Fanani

Editor              : Siti Fatimah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *