Ketika Tanah Bicara: Assess sebagai Langkah Awal Eco Garden Care

Ketika Tanah Bicara: Assess sebagai Langkah Awal Eco Garden Care

Di sudut halaman sekolah yang selama ini terabaikan, tanah yang kering dan penuh gulma mulai menarik perhatian. Bukan karena keindahannya, melainkan karena diam-diam ia menyimpan potensi. Beberapa siswa dan guru mulai bertanya: mengapa lahan ini dibiarkan kosong? Mengapa tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih bermakna? Dari pertanyaan-pertanyaan sederhana itulah, gagasan Eco Garden Care mulai tumbuh—sebuah gerakan kecil yang ingin menghidupkan kembali ruang belajar dari tanah yang nyaris dilupakan.

Observasi lintas mata pelajaran menunjukkan bahwa banyak siswa lebih tertarik menggambar atau mencoret-coret daripada mengikuti pembelajaran konvensional. Di sisi lain, kebiasaan membuang sisa makanan dan daun kering sembarangan menjadi pemandangan harian. “Saya suka gambar tanaman, tapi nggak tahu cara nanamnya,” ujar Rizki, siswa kelas XI BKP. Kutipan seperti ini menjadi pemantik bahwa ada gaya belajar visual dan kinestetik yang belum terakomodasi, dan bahwa pembelajaran bisa lebih hidup jika menyentuh dunia nyata.

Lahan sekolah yang luas perlu dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin

Diskusi informal antar guru pun digelar. Mereka menyadari bahwa minimnya konsumsi sayur di kantin, kurangnya edukasi gizi, dan tidak adanya ruang praktik pertanian sederhana membuat isu ketahanan pangan terasa jauh dari siswa. “Kita punya lahan, punya siswa kreatif, tapi belum punya sistem yang menghubungkan semuanya,” ungkap Bu Siti Fatimah, guru Bahasa Indonesia. Refleksi ini menjadi titik awal untuk menyusun strategi pembelajaran yang lebih kontekstual dan kolaboratif.

Melalui survei dan forum terbuka, siswa menyampaikan keresahan mereka. “Kalau ada kebun, mungkin kita bisa belajar sambil praktik,” kata Nabila. “Saya ingin tahu gimana caranya bikin pupuk dari sisa makanan,” tambah Dimas. Respons ini menunjukkan bahwa siswa tidak hanya siap belajar, tetapi juga ingin berkontribusi. Eco Garden Care bukan sekadar proyek, tapi ruang bagi siswa untuk merasa memiliki dan berdaya.

Guru kemudian menyusun peta masalah: lahan terbengkalai, minimnya konsumsi sayur, kurangnya edukasi lingkungan, dan gaya belajar yang belum terakomodasi. Di sisi lain, mereka juga memetakan harapan: kebun sekolah sebagai laboratorium hidup, kampanye digital sebagai media ekspresi, dan kolaborasi lintas mata pelajaran sebagai kekuatan pembelajaran. Eco Garden Care lahir dari akar masalah yang nyata dan harapan yang tumbuh bersama. Ketika tanah bicara, kita belajar mendengar. Ketika siswa bicara, kita belajar bergerak. Artikel ini menjadi pembuka rangkaian kampanye Eco Garden Care. Dari observasi sederhana, lahir gagasan besar. Dari keresahan siswa, muncul semangat perubahan. Eco Garden Care bukan hanya tentang menanam sayur, tapi menanam kesadaran, nilai, dan masa depan yang lebih hijau. (zen)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *